Sahabat sekalian, jika
jauh di dalam qalbu anda sudah ada ada kebutuhan untuk mencari Allah, ingin
tenteram, ingin mengetahui agama lebih baik, atau gelisah mencari kesejatian,
maka ketahuilah bahwa Allah masih berkenan memanggil anda untuk bertaubat.
Taubat sesungguhnya merupakan
panggilan Allah. Manusia sama sekali tidak bisa membuat dirinya sendiri ingin
bertaubat. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan bertaubat di dalam kalbu
anda.
Sebagaimana firman-Nya:
“Kemudian Tuhan memilihnya, maka
Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS 20:122)
“Barangsiapa menghendaki
(kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu
tidak akan mempu menempuh jalan itu kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS.
76:29-30)
“…Bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat mengendaki (menenempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. 81:
28-29)
Keinginan Taubat
Keinginan taubat itu timbul
karena dipilih-Nya. Maka dari itu, jika sekarang dalam hati anda mulai tumbuh
kegelisahan makna hidup, atau keinginan kembali kepada-Nya, mulai timbul
keinginan akan ketentraman bersama-Nya, mulai ingin mencari jalan-jalan yang
mendekatkan diri kita kepada-Nya, Itu adalah panggilan-Nya. Maka sambutlah
panggilan-Nya itu.
Jika kemudian mulai tumbuh perilaku kita yang ‘mencari jejak-Nya’, seperti
mencari-cari pengajian yang baik, mencari-cari bahan di internet, mulai
mencari-cari buku tentang Tuhan dan agama, maka syukurilah. Ini berarti bahwa
Dia masih mengingat anda. Dia masih memanggil anda untuk mendekat, untuk pulang
kepada-Nya. Dia masih menghendaki anda kembali kepada-Nya. Allah sendirilah
yang menumbuhkan keinginan ini dalam hati anda.
Oleh karena itu, janganlah
kita sia-siakan kesempatan ini. Jangan abaikan panggilan-Nya ini. Jangan sampai
dia merasa panggilan-Nya kita abaikan. Karena sebagaimana kita pun, jika orang
yang kita harapkan terus mengabaikan kita, lama-kelamaan kita pun akan
melupakan orang itu. Camkanlah, bahwa tidak setiap orang akan dipanggil-Nya. Tidak
setiap orang terpilih untuk ditaubatkan-Nya. Sangat sedikit orang yang
ditumbuhkan keinginan untuk mulai mencari Allah di dalam hatinya.
Perhatikanlah, bahwa amat
banyak orang mencari pengajian dengan niat mencari kawan, mencari kelompok, mencari
pengakuan orang lain sebagai ‘orang pengajian’, mencari ketentraman sesaat,
meniti karir di partai politik, mencari hapalan dan pengetahuan ayat, mencari
bahan diskusi, dan sebagainya. Sangat sedikit, sekali lagi sangat sedikit,
orang yang benar-benar mencari pemahaman akan hakikat hidup maupun
kesejatian (Al-Haqq).
Jika kita tidak mau bertaubat,
tidak mengindahkan panggilan-Nya itu, maka kita termasuk orang yang zalim.
Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.
“Dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)
Jika panggilan-Nya ini kita
abaikan, maka kita akan semakin berputar-putar saja di dunia ini, dan kalbu
kita akan semakin buta saja. Oleh karena itu, akan semakin susah sajalah kita
memperoleh petunjuk-Nya, ketika kalbu kita menjadi buta.
“Dan barangsiapa yang berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS 20:124)
“Sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta adalahqalb-qalb (quluubun) yang ada di dalam dada.” (QS
22:46)
Apakah ‘Taubat’ ?
Apakah ‘taubat’ itu? Taubat
bukanlah istighfar. Hanya semata mengucapkan ‘astaghfirullah’, walaupun
seribu kali, bukanlah taubat. Sebagaimana qur’an mengatakan,
“Karena itu beristighfarlah kepada-Nya,
kemudian bertaubatlahkepada-Nya” (QS. 11:61).
Maka, dari ayat di atas, jelas
nampak bahwa Istighfar dan taubat adalah dua hal yang berbeda.
Kata ‘taubat’ berasal dari
kata ‘taaba’, artinya ‘kembali’. Taubat adalah sebuah ‘keinginan’,
kegandrungan, kebutuhan akan Allah, maupun segala yang dapat membuat kita lebih
mengenal-Nya. Oleh karena itu, landasan taubat adalah mencari Allah, mencari
kesejatian, mencari hakikat kehidupan ini. Orang bisa saja mengucap istighfar
ribuan kali sehari, tapi sama sekali tidak bertaubat.
Orang bisa zikir ribuan kali,
dengan niat supaya cerdas, supaya sakti, supaya bisa mengobati, supaya karir
bagus, supaya lulus ujian, macam-macam. Rajin shalat malam, supaya berwajah
cerah dan cantik. Rajin puasa, supaya sehat, supaya tidak gemuk. Di mana
Allahnya? Mungkin Allah kita tempatkan nomor dua atau tiga.
Maka dari itu, pertama sekali,
kita murnikan niat kita dahulu. Kita niatkan semuanya hanya untuk kembali
kepada-Nya (taubat), supaya semakin diberi-Nya petunjuk bagaimana taubat yang
benar itu. Supaya diajari-Nya hakikat kehidupan ini.
Junjungan kita Rasulullah Muhammad
Saw mengucapkan do’a berikut ini, yang dibaca setiap kali Beliau selesai
berwudhu:
“Allahummaj’alni
minat-tawwabiin, waj ‘alni minal muthahhiriin.”
“Ya Allah, jadikan hamba
termasuk ke dalam ‘At-Tawwabiin’(mereka yang bertaubat), dan
jadikan hamba termasuk ke dalam‘Al-Muthahhiriin’ (mereka yang
disucikan).”
Bahkan Rasulullah Saw pun masih
memohon kepada Allah untuk dimasukkan ke dalam golongan orang yang bertaubat.
Bukankah Rasulullah telah suci, bebas dosa, dan telah dijamin surga oleh Allah
ta’ala?
Makna ‘Zalim’
Jika kita tidak kembali kepada
Allah (taubat), maka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zalim.
Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.
“Dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)
Padahal, Allah tidak akan pernah
memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim. Ketegasan-Nya ini
diulang berkali-kali dalam Al-Qur’an, sebagai peringatan supaya kita
benar-benar memperhatikan hal ini.
“Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”(2:258)”
“Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (5:151)
Demikian pula kalimat yang sama
bisa kita temukan pada Q.S. 6:144, 9:19, 9:109, dan 28:50.
Maka dari itu, jika kita tidak
bertaubat, tidak berusaha kembali kepadaNya, maka kita akan semakin sesat saja.
Bahkan hal ini ditegaskanNya bahwa ia akan menyesatkan mereka yang zalim.
“Dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim (14:27).”
Jika kita tidak bertaubat, kembali
pada Allah, maka sudah barang tentu akan semakin jauh saja kita dari
petunjuk-Nya. Hidup kita pun dengan sendirinya akan terlempar-lempar dari satu
masalah ke masalah yang lainnya saja, jauh dari petunjuk-Nya.
Implikasi Ke’Mahapengampun’an Allah
Kita mengetahui bahwa Allah Maha
Pengampun. Tapi, Maha Pengampun terhadap siapa?
“Dan sesungguhnya Aku Maha
Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di
jalan yang benar.”
(QS. 20:82).
Allah Maha Pengampun pada yang
bertaubat (saja). Jika kita bertaubat, kembali kepada-Nya, maka barulah asma
‘Maha Pengampun’ ada implikasinya terhadap kita. Jika kita misalnya dikenal
sebagai orang yang pemaaf, tentu sifat pemaaf kita tidak ada implikasinya
terhadap orang yang tidak kita kenal. Jadi, kepemaafan kita berlaku pada orang
tertentu saja, tidak dengan sendirinya pada semua orang.
Demikian pula Allah. Dia
Maha Pengampun (hanya) kepada mereka yang bertaubat.Kepada yang tidak
bertaubat, walaupun dia dikenal dengan Maha Pengampun, tentunya tidak ada
hubungannya. Ke-Maha Pengampunan-Nya tidak ada implikasinya sama sekali
kepada mereka yang tidak bertaubat, kepada mereka yang tidak berusaha
kembali kepada-Nya.
Jika kita hanya istighfar saja,
maka belum tentu Allah Maha Pengampun kepada kita. Tapi jika kita bertaubat,
kemudian memperbaiki diri, maka Allah Maha Pengampun kepada kita. Taubat
–harus– diikuti dengan memperbaiki diri, supaya taubat kita diterima oleh-Nya.
Demikianlah yang kita lihat
pada ayat-ayat berikut ini:
“Maka barangsiapa bertaubat
sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:39)
“Kecuali orang-orang yang
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24:5)
“Barangsiapa yang berbuat
kejahatan diantara kamu karena kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 6:54)
Jalaluddin Rumi tentang Taubat
Sebagai penutup tulisan
tentang taubat, mari kita hayati penggalan puisi hasilfana Jalaluddin
Rumi di bawah ini:
Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”
Wallahu ‘alam, Semoga
bermanfaat.
Sumber : suluk.wordpress.com